Meletusnya Gunung Sunda
Terkisah cerita di jaman dahulu bahwa
wilayah Sunda keberadaannya tidak seperti masa kini. Dikenal dengan nama “Daratan Sunda” yang keadaanya masih berbentuk hamparan, di ujung
sebelah utara dibatasi lautan yang berbatasan dengan daratan Melayu, ujung
Timur batasnya Nusa Ireng. Konon di
daratan sunda terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi yang disebut “Gunung
Sunda”. Pada suatu waktu gunung
tersebut meletus dan terjadi hanya dalam satu ledakan, Gunung yang begitu
tinggi meletus dalam satu ledakan, tentunya mengakibatkan bencana alam yang
dahsyat dan kerusakan berat, akibat terjadinya gunung meletus menimbulkan gempa,
bahkan tanah banyak yang mengalami gempa tektonik, ombak laut banyak yang
menyemburkan airnya ke daratan, tanah-tanah yang mengalami gempa tektonik menjadi
terendam oleh air laut. Sesudah gunung
meletus keadaan alam menjadi berubah, yang tadinya daratan sunda yang berupa
hamparan luas, saat itu kondisinya menjadi terpisah menjadi beberapa pulau, daerah
yang menjadi pusat gunung meletus berubah menjadi satu pulau tersendiri yaitu “Nusa Lenggang”, yang kedua ada yang yang
menyilang dan disebut “Nusa Junjang”, yang ketiga “Nusa Larang” dan yang
keempat yaitu “Nusa Ireng”. Di Nusa
Lenggang bekas daerah gunung meletus menjadi kawah, air tergenang, bening dan
dingin membentu suatu telaga, lama kelamaan pepohonan tumbuh kembali, makin
lama makin besar pepohonan tersebut dan jadilah kembali hutan yang lebat,
disana sini terdapat batu-batuan karena bekas daerah gunung meletus, dan saat
itu belum terkisahkan ada manusia yang mendiami.
Seekor hewan aneh yang
memiliki mata disekujurbadannya, berubah menjadi batu
Terkisah cerita, datanglah rombongan
manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh seseorang,
rombongan itu sebetulnya orang-orang yang akan mencari daerah untuk tempat
tinggal tetap, dan akhirnya rombongan menuju ke pinggir talaga di sebelah
selatan yang tidak curam tetapi melebar.
Selain dari pimpinan rombongan terdapat 3 orang yang dipercayai oleh
pimpinan rombongan, ketiga orang tersebut diberi tugas untuk meneliti daerah
itu, apakah cocok atau tidak untuk dijadikan tempat tinggal/pemukiman. Adapun pertimbangannya antara lain : tidak
jauh dari telaga, ada sungai kecil yang airnya mengalir ke talaga itu, dan
tanahnya subur karena bekas gunung meletus. Akhirnya
diputuskan bahwa tempat itu layak untuk dijadikan pemukiman, lalu diadakan
penebangan hutan, tanahnya diratakan agar kerasan tinggal disana, dan terjadilah
penataan segalanya.
Ketika sedang berjalan proses
penebangan hutan, tidak heran banyak hewan liar besar dan kecil pada
berhamburan ketakutan, menjauhi, dan mereka tidak menggangu manusia, maklumlah
yang menebang hutan dipimpin oleh ahli bersemedi yang sering memohon kepada
yang Maha Menyetujui agar selamat dan mahluk lainnya tidak merasa
terganggu. Tapi walau bagaimanapun juga
yang namanya hutan tetap hutan dan sudah pasti ada hewan yang merasa terusik
keberadaannya. Terkisah ada salah satu
hewan yang bandel serta amat perkasa, menurut cerita katanya sekeliling badanya
memiliki mata. Untuk menaklukan hewan
aneh yang satu ini terpaksa oleh Pimpinan rombongan yang melawannya dan
akhirnya hewan tersebut takluk, dan sesudah takluk hewan itu berjanji tidak
akan mengganggu siapa-siapa lagi asalkan iapun tidak diganggu. Dan terkisahkan hewan itu berubah menjadi sebuah
“batu”, dan didaerah hewan buas dan perkasa tersebut keluar hulu air dan diberi
nama Cijadi (Cijanten). Dinamakan Cijadi karena jadi untuk
pemukiman, tetapi kalau hewan buas dan
perkasa itu tidak bisa ditaklukkan, maka besar kemungkinan tempat itu
batal (tidak jadi) dijadikan tempat pemukiman.
Khalayak ramai sekarang menyebutnya “Cijanten”.
Kisah nama Parahiangan
Keadaan talaga tersebut sangat luas,
pinggir talaga sebelah utara, timur dan barat keadaannya sangat curam, tetapi
sebelah selatan melebar dan membentuk hamparan, pinggir talaga menurut
kenyataan berupa gunung-gunung, yaitu Gunung Tangkuban Perahu, Bukit Unggul dan
Gunung Patuha, di sebelah selatan yaitu Gunung Malabar (kemungkinan dari kata
melebar), sedangkan talaga tersebut
dinamakan “Talaga Hiang”, menurut kepercayaan pada saat itu manusia yang telah
meninggal, arwahnya “ngahiang” dan berkumpul di talaga tersebut. Jadi dikatakan juga talaga tersebut tempat
para hiang atau tempat mahluk halus, dan akhirnya di daerah itu disebut “Parahiangan”.
Kisah nama Cikabuyutan dan
Tanjung Wangi
Terkisah rombongan yang membuat
pemukiman sudah menata lingkungan dan membangun rumah-rumah kecil yang manis,
dalam menatanya begitu baik, permukaan tanah dihampar oleh batu-batuan. Yang ditempati oleh Pimpinan rombongan
ditata sedemikian teratur, bahkan sungai yang mengalir ke talaga dibelokkan
sebagian agar melewati ke permukiman untuk kehidupan sehari-hari, dan sekarang
terkenal dengan nama “Cikabuyutan”,
sedangkan sungai yang dibelokkan berada di belakang permukiman diberi nama
“Citalutug” (talutug artinya yang memperkokoh pemantar, sejenis patok
bambu). Diberi nama Citalutug bertujuan
untuk memperkokoh permukiman jangan sampai goncang.
Lama kelamaan masyarakat semakin
berkembang sehingga mendorong untuk dibentuknya beberapa pemimpin yang mengatur
rakyatnya dalam berbagai urusan, pemimpin disini oleh rakyatnya disebut
“Petinggi yang dipercaya”, maka terbentuklah sebagai berikut :
- Embah Lurah; yang bertugas mencatat banyaknya penduduk yang ada, yang meninggal atau yang baru lahir, jadi Lurah disini pembimbing.
- Embah Wira Dikusumah; bertugas menjaga keamanan, baik keamanan dari luar maupun di dalam masyarakat.
- Embah Patra Kusumah; bertugas mengelola budaya
- Embah Aji; bertugas dibidang ilmu
- Embah Kalang Sumitra; bertugas mengelola bidang peradilan.
Para pemimpin atau petinggi tersebut suka
mengajarkan ilmu agar dalam hidup sehari-hari mendapat keselamatan,
kebahagiaan, dan kalau sudah waktunya berpulang meninggalkan dunia mendapat
tempat disisiNya. Kehidupan rukun,
tidak pernah ada yang saling menuduh atau saling menyalahkan, sangat patuh
kepada apa yang dikatakan Pemimpin, dan iman serta taqwa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Pada waktu itu tempat
permukiman tersebut bisa juga dikatakan sebagai sebuah kerajaan kecil, orang
tua menyebutnya tempat tersebut yaitu “Tanjung Wangi” tapi ada juga yang
menyebut “Tunjung Wangi”. Masyarakat
pada saat itu hidupnya aman, tenteram, subur makmur, gemah ripah loh jinawi,
repeh rapih, hiru gusti waras abdi.
Kehidupan makin lama makin maju/berkembang
sampai termasyur ke daerah-daerah yang jauh, akibat dari cara kepemimpinan yang
memiliki ilmu yang tinggi serta bijaksana, demikian juga yang dipimpin memiliki
rasa hormat yang tinggi kepada Pemimpinnya, karena hal itulah diberi nama
“Tanjung Wangi”. Tanjung Wangi hidup
berkembang maju, serta perbuatannya bertingkah laku yang baik dan membawa harum
pada dirinya. Kalau Tanjung Wangi ini
bagian dalam urusan batin, bunga tunjung adanya dalam kalbu (wangi=harum). Jadi karena hati harum dalam perilaku dan
perbuatan fisiknya yang baik yang dapat menjadi harum pada dirinya.
Putra Mahkota Kerajaan Banten
berguru ke Tanjung Wangi
Terkisah di wilayah barat yaitu daerah
Banten, ada suatu kerajaan kecil, Rajanya mempunyai putra lelaki yang akan
menggantikan raja (Putra Mahkota).
Remaja yang dalam keadaan [buta tulang buta daging] menyadari bahwa
dirinya kelak dikemudian hari akan menggantikan raja, mengelola negara, ia
senantiasa mempersiapkan diri sejak dini mencari ilmu dan pengalaman, para
pemilik ilmu didatanginya, bahkan sering berpuasa sambil bertapa di tempat yang
dianggap berkeramat, tafakur dan bersemedi kepada Yang Mahasuci untuk mendapat
ilham.
Konon pada suatu waktu disaat ia sedang
bersemedi terdengar ada suara gaib yang berisi petunjuk yaitu : “…seandainya kamu ingin mendapat ilmu yang
terakhir, cepat kunjungi ke sebelah timur disisi Talaha Hiang, disana terdapat
ilmu…”. Setelah menerima ilham
tersebut maka ia keluar dari pertapaannya, segera pulang menghadap ayahnya
(seorang Raja) dan menceritakan kejadian tadi sekaligus memohon ijin Sang Raja,
bahkan ia berjanji seandainya belum ditemukan ilmu dan belum memilikinya ia
tidak akan pulang dulu.
Akhirnya pemuda tesebut mendapat restu
ayahnya dan berangkat menuju ke sebelah timur, menuju Talaga Hiang. Ditengah perjalanan istirahat karena lelah,
merentangkan badannya dan akhirnya tertidur pulas.
Terkisah di daerah Tanjung Wangi, petinggi
di Tanjung Wangi mengetahui akan kedatangan seorang pemuda, karena ilmunya
cukup tinggi, penglihatannya lebih waspada, lalu Ia mengkonsentrasikan diri,
akhirnya terjadi pertemuan dengan seorang pemuda yang sedang tidur pulas tadi, dan
diterimanya oleh pemuda Banten tersebut dalam bentuk mimpi, karena ia sedang
tertidur pulas,dalam perbincangan kontak bathinnya sang pemuda mendapat
petunjuk bahwa “ seandainya kamu menginginkan mustika adanya di dalam talaga”. Pemuda yang sedang tertidur pulas, akhirnya
terperanjat dan terbangun sebab terngiang ditelinganya ada suatu yang membisikannya,
lalu ia segera melakukan perjalanan ke sebelah timur dan sampailah ke pinggir
talaga dimaksud. Talaga tersebut
pinggirnya rindang oleh pepohonan, bahkan tidak kelihatan ada pemukiman. Penglihatan sang Pemuda tertuju pada talaga
karena menurut berita, mustika ada di dalam telaga. Tidak lama berselang disaat sang pemuda
mengamati telaga, dari dalam talaga muncul dua hewan lalu berenang, dua hewan
tersebut yaitu “Biul” (sejenis burung waliwis),
sudah tidak dipikirkan lagi, sang pemuda berkeyakinan bahwa inilah mustika yang dicari, tidak dipikir panjang
lagi, nafsu amarah dalam dirinya ingin secepatnya mendapatkan mustika, ia
loncat dan berenang kedalam talaga mengejar 2 hewan tersebut, namun sayang ketika
ia menghampirinya, hewan tersebut malah menyelam, kemudian sang pemuda menyelam
mengejar hewan tersebut, tapi sayang ktika sudah dekat dan mau ditangkap, hewan
tersebut malah muncul lagi ke atas permukaan air, begitulah berkali-kali
kejadiannya dan akhirnya sang pemuda merasa lemas tidak berhasil
mendapatkannya, akhirnya naik ke daratan, hatinya kecewa belum terlaksana yang
diinginkannya. Sambil merenung munculah
akal akan membuat jala untuk menangkap kedua hewan tadi. Sang pemuda bergegas mencari rotan yang ada
disekeliling talaga, tidak sulit mendapatkannya karena dihutan rotan banyak, lalu
menarik rotan (areuy) dan dibuatlah jala, sedangkan untuk bebannya diambilkan
batu-batu yang berserakan, karena bekas gunung meletus. Setelah selesai membuat jala, Biul yang
sedang berenang langsung disergap, kata hatinya hewan itu pasti dapat, begitu
ditarik ternyata tidak didapatkannya, demikian saja kerjanya sang pemuda
tersebut berusaha menangkap hewan Biul tersebut, sampai air telaga kotor karena
[dikubek], bahkan biul juga menghilang.
Nafsu amarahnya tak tertahankan merasa dipermainkan oleh hewan kecil, “Sebetulnya saya cukup memiliki ilmu, apalagi
mantra-mantra dan belum mengenal darah diri sendiri, artinya belum ada yang
mengalahkannya”. Nafsu amarah tak
terelakkan lupa akan dirinya, jala yang rusak akhirnya dilemparkannya, ada yang
dekat jatuhya, ada yang agak jauh jatuhnya, dia merasa lemas dan tidak berdaya
sampai akhirnya ia tertidur.
Meragukan kesaktiannya Sang
Guru ditantang Calon Muridnya
Setelah terbangun dari tidurnya tersinari
oleh matahari, dan matanya melek, lalu ia melihat ke sekeliling, ternyata ada
bangunan kecil tapi manis, merasa bahagia ingin bertanya tentang pemukiman itu,
lalu ia menuju suatu rumah. Setibanya
di depan rumah [golodog] ia mengucapkan salam, dan ternyata ada jawaban dari penghuni rumah
kecil tersebut serta mempersilahkan kepada tamunya, sang pribumi begitu ramah
bahkan ia menyuguhkan air dan makanan, dan terjalinla perbincangan diantara
mereka. Setelah lama terjadinya perbincangan antara tamu dan pribumi, akhirnya tamu
berterus terang ingin berguru, mencari ilmu terakhir, ingin tidak ada yang
mengalahkan lagi oleh yang lain, tetapi jawaban pribumi, jangankan saya
memiliki ilmu terakhir, jadi orang bodohpun tidak termasuk [teu bodo-bodo acan],
karena lahir ke dunia ini sebetulnya karena Yang Maha Kuasa serta harus pandai
kembali lagi, sendainya meninggal, menghadapNya. Sepertinya jawaban pribumi kurang memuaskan
tamu, maka dari itu tamu tetap menyatakan keinginannya untuk berguru,
pribumipun tetap menolak karena ia merasa tidak mempunyai ilmu untuk diajarkan,
tetepi karena tamu terus memaksa akhirnya pribumi mengalah dan akhirnya
menerima, kalau tetap ingin berguru akan diberi ilmu seadanya, tamu merasa
bahagia diterima menjadi murid, tetapi dalam hatinya muncul niat yang kurang
baik, dalam pikirannya : “mengapa saya
ingin berguru kepada orang yang belum tentu, bahkan saya ini sudah cukup berilmu,
saya tidak akan mau menerima dulu ilmu dari dia, sebelum saya mencoba kesaktiannya”. Akhirnya yang akan memberi ilmu yang sudah
tua renta itu ditantang untuk berkelahi dengan orang yang masih muda dan kekar [buta
tulang buta daging]. Dalam benak
Petinggi, seandainya tidak dipenuhi betapa ia akan merusaknya, tapi kalau
dituruti keadaanya ya begini. Akhirnya
Sang Petinggi memohon kepada Yang Maha Kuasa semoga diberi keselamatan. Ringkas cerita ketika terjadi perkelahian
antar pribumi dengan tamu pada akhirnya tamu terdesak, seterusnya ia menjadi
murid di perguruan Tanjung Wangi. Bahkan
karena terlalu lama berguru akhirnya tamupun mendapat ilmu yang terakhir dari
Sang Petinggi. Untuk melaksanakan
kehidupan di dunia, berlangsung dalam keadaan selamat dan berpulang ke
Rahmatullah (meninggal dunia) ada dalam kebahagian di alam akherat, dapat
berpulang dan kembali kepadaNya. Setelah
bertahun-tahun berguru, maka akhirnya sang pemuda itu berpamitan kepada gurunya
akan pulang menemui dulu ayah dan ibunya di wilayah barat, dan berjanji akan
kembali lagi, ingin hidup bersama dengan yang jadi gurunya.
Kisah Lebakwangi dan Batukarut
Setelah sampai kepada ibu dan bapaknya di
wilayah barat, ia menyampaikan telah berhasil mendapatkan ilmu untuk
keselamatan di alam dunia dan akhirat, semoga tidak kecewa, tersinggung
perasaan yang menjadi orang tua, saya akan kembali lagi kepada yang menjadi
guru dan akan menetap disana. Setelah
mendapat ijin dari kedua orang tuanya, seorang pemuda itu kembali lagi ke
tempat perguruannya Tanjung Wangi. Karena berjiwa besar dan berilmu tinggi pemuda
itu mendapat kepercayaan dari Petinggi untuk menangani alat musik pusaka, dan
mendapat gelar “Embah Bandong”.
Banyak hikmah yang didapat oleh pemuda
tersebut ketika ia sedang berusaha mendapatkan mustika. Bila ingin mendapatkan sesuatu hal yang baik
tidak mudah, tetapi sering mendapat ujian dan cobaan, serta bergantung kepada
mampu atau tidaknya, mungkin nafsu yang
menggoda dirinya, akibat nafsunya akhirnya jala dilemparkan.
Konon bekas jala yang dilemparnya waktu
dulu, ada diantaranya yang jatuh di dekatnya, berantakan dan ada batu jala yang
terikat oleh [areuy]. Dan di tempat
itulah sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama “Batukarut”.
Lama kelamaan petinggi dan para nenek moyang
meninggal dunia, namun sebelumnya mereka membuat wasiat, “setelah kami tiada (wafat) tempat atau pemukiman ini, yang di sebut
Tanjung Wangi atau Tunjung Wangi namanya harus diganti”. Kesatu “Lebakwangi” karena letaknya sedikit
kebawah (ka lebak), kedua “Batukarut” yang tandanya ada batu yang dikarut oleh
areuy.
Makna
Lebakwangi ini ibarat rohani, berada dibawah kalbu bukan diatas didalam akal,
dan selamanya tiada pernah mendorong ke jalan salah, selamanya mendorong ke
jalan yang baik seperti perintah Yang Maha Kuasa, sehingga mengakibatkan harum
bagi dirinya, sedangkan Batukarut tampak
bedanya, bagaikan jasmani, dalam dirinya ada pendorong ke jalan salah, yaitu nafsu, walau
bagaimanapun kerasnya atau bandelnya nafsu jangan sampai terlontar, sebab kalau
terlontar melalui mulut akan berakibat tidak enak didengarnya. Kalau dalam perilaku maka perbuatannya yang
salah, peribahasa mengatakan gejolak jiwa berakibat penyesalan jasad yang
menanggung resiko. Jadi walau
bagaimanapun kerasnya amarah nafsu seperti batu, supaya bisa diikat jangan
sampai terlontar dari diri kita.
Setelah para nenek moyang wafat kemudian
dikuburkan di “Gunung Alit” atau “Gunung Andaya Sakti”. Terdapat 6 makam yang dikuburkan disana,
yaitu :
1. Makam Embah Lurah, terletak paling bawah
2. Makam Embah Wira Dikusumah
3. Makam Embah Patra Kusumah, berada
ditengah-tengah
4. Makam Embah Aji
5. Makam Embah Kalanga Sumitra
6. Makam Embah Manggung Jaya Dikusumah, yang terletak dipuncak gunung.
Menurut para orang tua bekas rumahnya
sekarang disebut “Kabuyutan, disana didirikan rumah kecil yang dipakai
menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, seperti :
1. Sumbul, yang digantungkan
2. Gobang, keris, pedang, badi, kujang
Perkakas tersebut masing-masing pakai
[sarangka] serta dibungkus oleh kain putih, kafan tujuh rangkap, dan memakai
kapas, memakai bunga rampai, setelah digulung diikat antara ujung dan ujung dan
ditengah-tengah, tak beda seperti membungkus mayat. Disimpannya didalam kamar rumah kecil
tersebut, setiap tanggal 12 Maulud, suka diadakan upacara muludan, sekaligus
melestarikan atau memelihara benda, baik yang di dalam rumah kecil atau alat
musik pusaka Embah Bandong yang disimpan di rumah masyarakat yang dipercaya
untuk menyimpan benda tersebut. Didalam
upacara dihadiri oleh warga masyarakat Batukarut, Lebakwangi dan sekitarnya,
baik yang jauh maupun yang dekat yaitu handai taulan Lebakwangi, Batukarut,
demikian pula dari Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten dan dari Provinsi
juga dari Dinas Kebudayaan Tingkat Provinsi.
Ditulis kembali oleh : Dadang Dharsana
Sumber :
Hasil wawancara dengan H. Uko
Rukanda (alm)
Pada tanggal 15 November 1997
oleh Drajat Sudrajat, SPd
Pada saat penyusunan skripsi
S1.