Menu

Blog Desa Batukarut

Blog ini dibuat atas inisiatif salah satu media informasi warga yang ada di wilayah Desa Batukarut, yaitu Radio Komunitas Kombas FM. Kepada para pembaca blog ini kami nantikan masukannya berupa kritik atau saran, serta partisipasinya dalam mengisi artikel/informasi-informasi yang bermanfaat bagi masyarakat Desa Batukarut khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, trims (dadang dharsana)

Selasa, 17 April 2012

Sasakala Desa Batukarut


Meletusnya Gunung Sunda

          Terkisah cerita di jaman dahulu bahwa wilayah Sunda keberadaannya tidak seperti masa kini.   Dikenal dengan nama “Daratan Sunda” yang keadaanya masih berbentuk hamparan, di ujung sebelah utara dibatasi lautan yang berbatasan dengan daratan Melayu, ujung Timur batasnya Nusa Ireng.  Konon di daratan sunda terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi yang disebut “Gunung Sunda”.   Pada suatu waktu gunung tersebut meletus dan terjadi hanya dalam satu ledakan, Gunung yang begitu tinggi meletus dalam satu ledakan, tentunya mengakibatkan bencana alam yang dahsyat dan kerusakan berat, akibat terjadinya gunung meletus menimbulkan gempa, bahkan tanah banyak yang mengalami gempa tektonik, ombak laut banyak yang menyemburkan airnya ke daratan, tanah-tanah yang mengalami gempa tektonik menjadi terendam oleh air laut.   Sesudah gunung meletus keadaan alam menjadi berubah, yang tadinya daratan sunda yang berupa hamparan luas, saat itu kondisinya menjadi terpisah menjadi beberapa pulau, daerah yang menjadi pusat gunung meletus berubah menjadi satu pulau tersendiri yaitu “Nusa Lenggang”, yang kedua ada yang yang menyilang dan disebut “Nusa Junjang”, yang ketiga “Nusa Larang” dan yang keempat yaitu “Nusa Ireng”.   Di Nusa Lenggang bekas daerah gunung meletus menjadi kawah, air tergenang, bening dan dingin membentu suatu telaga, lama kelamaan pepohonan tumbuh kembali, makin lama makin besar pepohonan tersebut dan jadilah kembali hutan yang lebat, disana sini terdapat batu-batuan karena bekas daerah gunung meletus, dan saat itu belum terkisahkan ada manusia yang mendiami.

Seekor hewan aneh yang memiliki mata disekujurbadannya, berubah menjadi batu

          Terkisah cerita, datanglah rombongan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh seseorang, rombongan itu sebetulnya orang-orang yang akan mencari daerah untuk tempat tinggal tetap, dan akhirnya rombongan menuju ke pinggir talaga di sebelah selatan yang tidak curam tetapi melebar.   Selain dari pimpinan rombongan terdapat 3 orang yang dipercayai oleh pimpinan rombongan, ketiga orang tersebut diberi tugas untuk meneliti daerah itu, apakah cocok atau tidak untuk dijadikan tempat tinggal/pemukiman.  Adapun pertimbangannya antara lain : tidak jauh dari telaga, ada sungai kecil yang airnya mengalir ke talaga itu, dan tanahnya subur karena bekas gunung meletus.          Akhirnya diputuskan bahwa tempat itu layak untuk dijadikan pemukiman, lalu diadakan penebangan hutan, tanahnya diratakan agar kerasan tinggal disana, dan terjadilah penataan segalanya.
          Ketika sedang berjalan proses penebangan hutan, tidak heran banyak hewan liar besar dan kecil pada berhamburan ketakutan, menjauhi, dan mereka tidak menggangu manusia, maklumlah yang menebang hutan dipimpin oleh ahli bersemedi yang sering memohon kepada yang Maha Menyetujui agar selamat dan mahluk lainnya tidak merasa terganggu.   Tapi walau bagaimanapun juga yang namanya hutan tetap hutan dan sudah pasti ada hewan yang merasa terusik keberadaannya.  Terkisah ada salah satu hewan yang bandel serta amat perkasa, menurut cerita katanya sekeliling badanya memiliki mata.   Untuk menaklukan hewan aneh yang satu ini terpaksa oleh Pimpinan rombongan yang melawannya dan akhirnya hewan tersebut takluk, dan sesudah takluk hewan itu berjanji tidak akan mengganggu siapa-siapa lagi asalkan iapun tidak diganggu.   Dan terkisahkan hewan itu berubah menjadi sebuah “batu”, dan didaerah hewan buas dan perkasa tersebut keluar hulu air dan diberi nama Cijadi (Cijanten).   Dinamakan Cijadi karena jadi untuk pemukiman, tetapi kalau hewan buas dan  perkasa itu tidak bisa ditaklukkan, maka besar kemungkinan tempat itu batal (tidak jadi) dijadikan tempat pemukiman.  Khalayak ramai sekarang menyebutnya “Cijanten”.

Kisah nama Parahiangan

          Keadaan talaga tersebut sangat luas, pinggir talaga sebelah utara, timur dan barat keadaannya sangat curam, tetapi sebelah selatan melebar dan membentuk hamparan, pinggir talaga menurut kenyataan berupa gunung-gunung, yaitu Gunung Tangkuban Perahu, Bukit Unggul dan Gunung Patuha, di sebelah selatan yaitu Gunung Malabar (kemungkinan dari kata melebar),   sedangkan talaga tersebut dinamakan “Talaga Hiang”, menurut kepercayaan pada saat itu manusia yang telah meninggal, arwahnya “ngahiang” dan berkumpul di talaga tersebut.   Jadi dikatakan juga talaga tersebut tempat para hiang atau tempat mahluk halus, dan akhirnya di daerah itu disebut “Parahiangan”.

Kisah nama Cikabuyutan dan Tanjung Wangi

          Terkisah rombongan yang membuat pemukiman sudah menata lingkungan dan membangun rumah-rumah kecil yang manis, dalam menatanya begitu baik, permukaan tanah dihampar oleh batu-batuan.   Yang ditempati oleh Pimpinan rombongan ditata sedemikian teratur, bahkan sungai yang mengalir ke talaga dibelokkan sebagian agar melewati ke permukiman untuk kehidupan sehari-hari, dan sekarang terkenal dengan nama “Cikabuyutan”, sedangkan sungai yang dibelokkan berada di belakang permukiman diberi nama “Citalutug” (talutug artinya yang memperkokoh pemantar, sejenis patok bambu).   Diberi nama Citalutug bertujuan untuk memperkokoh permukiman jangan sampai goncang.
          Lama kelamaan masyarakat semakin berkembang sehingga mendorong untuk dibentuknya beberapa pemimpin yang mengatur rakyatnya dalam berbagai urusan, pemimpin disini oleh rakyatnya disebut “Petinggi yang dipercaya”, maka terbentuklah sebagai berikut :

  1. Embah Lurah; yang bertugas mencatat banyaknya penduduk yang ada, yang meninggal atau yang baru lahir, jadi Lurah disini pembimbing.
  2. Embah Wira Dikusumah; bertugas menjaga keamanan, baik keamanan dari luar maupun di dalam masyarakat.
  3. Embah Patra Kusumah; bertugas mengelola budaya
  4. Embah Aji; bertugas dibidang ilmu
  5. Embah Kalang Sumitra; bertugas mengelola bidang peradilan.

Para pemimpin atau petinggi tersebut suka mengajarkan ilmu agar dalam hidup sehari-hari mendapat keselamatan, kebahagiaan, dan kalau sudah waktunya berpulang meninggalkan dunia mendapat tempat disisiNya.   Kehidupan rukun, tidak pernah ada yang saling menuduh atau saling menyalahkan, sangat patuh kepada apa yang dikatakan Pemimpin, dan iman serta taqwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.    Pada waktu itu tempat permukiman tersebut bisa juga dikatakan sebagai sebuah kerajaan kecil, orang tua menyebutnya tempat tersebut yaitu “Tanjung Wangi” tapi ada juga yang menyebut “Tunjung Wangi”.   Masyarakat pada saat itu hidupnya aman, tenteram, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, repeh rapih, hiru gusti waras abdi.
Kehidupan makin lama makin maju/berkembang sampai termasyur ke daerah-daerah yang jauh, akibat dari cara kepemimpinan yang memiliki ilmu yang tinggi serta bijaksana, demikian juga yang dipimpin memiliki rasa hormat yang tinggi kepada Pemimpinnya, karena hal itulah diberi nama “Tanjung Wangi”.   Tanjung Wangi hidup berkembang maju, serta perbuatannya bertingkah laku yang baik dan membawa harum pada dirinya.   Kalau Tanjung Wangi ini bagian dalam urusan batin, bunga tunjung adanya dalam kalbu (wangi=harum).   Jadi karena hati harum dalam perilaku dan perbuatan fisiknya yang baik yang dapat menjadi harum pada dirinya.

Putra Mahkota Kerajaan Banten berguru ke Tanjung Wangi

Terkisah di wilayah barat yaitu daerah Banten, ada suatu kerajaan kecil, Rajanya mempunyai putra lelaki yang akan menggantikan raja (Putra Mahkota).   Remaja yang dalam keadaan [buta tulang buta daging] menyadari bahwa dirinya kelak dikemudian hari akan menggantikan raja, mengelola negara, ia senantiasa mempersiapkan diri sejak dini mencari ilmu dan pengalaman, para pemilik ilmu didatanginya, bahkan sering berpuasa sambil bertapa di tempat yang dianggap berkeramat, tafakur dan bersemedi kepada Yang Mahasuci untuk mendapat ilham. 
Konon pada suatu waktu disaat ia sedang bersemedi terdengar ada suara gaib yang berisi petunjuk yaitu : “…seandainya kamu ingin mendapat ilmu yang terakhir, cepat kunjungi ke sebelah timur disisi Talaha Hiang, disana terdapat ilmu…”.   Setelah menerima ilham tersebut maka ia keluar dari pertapaannya, segera pulang menghadap ayahnya (seorang Raja) dan menceritakan kejadian tadi sekaligus memohon ijin Sang Raja, bahkan ia berjanji seandainya belum ditemukan ilmu dan belum memilikinya ia tidak akan pulang dulu.
Akhirnya pemuda tesebut mendapat restu ayahnya dan berangkat menuju ke sebelah timur, menuju Talaga Hiang.   Ditengah perjalanan istirahat karena lelah, merentangkan badannya dan akhirnya tertidur pulas.  
Terkisah di daerah Tanjung Wangi, petinggi di Tanjung Wangi mengetahui akan kedatangan seorang pemuda, karena ilmunya cukup tinggi, penglihatannya lebih waspada, lalu Ia mengkonsentrasikan diri, akhirnya terjadi pertemuan dengan seorang pemuda yang sedang tidur pulas tadi, dan diterimanya oleh pemuda Banten tersebut dalam bentuk mimpi, karena ia sedang tertidur pulas,dalam perbincangan kontak bathinnya sang pemuda mendapat petunjuk bahwa  “ seandainya kamu menginginkan mustika adanya di dalam talaga”.  Pemuda yang sedang tertidur pulas, akhirnya terperanjat dan terbangun sebab terngiang ditelinganya ada suatu yang membisikannya, lalu ia segera melakukan perjalanan ke sebelah timur dan sampailah ke pinggir talaga dimaksud.  Talaga tersebut pinggirnya rindang oleh pepohonan, bahkan tidak kelihatan ada pemukiman.  Penglihatan sang Pemuda tertuju pada talaga karena menurut berita, mustika ada di dalam telaga.   Tidak lama berselang disaat sang pemuda mengamati telaga, dari dalam talaga muncul dua hewan lalu berenang, dua hewan tersebut yaitu “Biul” (sejenis burung waliwis),  sudah tidak dipikirkan lagi, sang pemuda berkeyakinan bahwa inilah  mustika yang dicari, tidak dipikir panjang lagi, nafsu amarah dalam dirinya ingin secepatnya mendapatkan mustika, ia loncat dan berenang kedalam talaga mengejar 2 hewan tersebut, namun sayang ketika ia menghampirinya, hewan tersebut malah menyelam, kemudian sang pemuda menyelam mengejar hewan tersebut, tapi sayang ktika sudah dekat dan mau ditangkap, hewan tersebut malah muncul lagi ke atas permukaan air, begitulah berkali-kali kejadiannya dan akhirnya sang pemuda merasa lemas tidak berhasil mendapatkannya, akhirnya naik ke daratan, hatinya kecewa belum terlaksana yang diinginkannya.   Sambil merenung munculah akal akan membuat jala untuk menangkap kedua hewan tadi.  Sang pemuda bergegas mencari rotan yang ada disekeliling talaga, tidak sulit mendapatkannya karena dihutan rotan banyak, lalu menarik rotan (areuy) dan dibuatlah jala, sedangkan untuk bebannya diambilkan batu-batu yang berserakan, karena bekas gunung meletus.  Setelah selesai membuat jala, Biul yang sedang berenang langsung disergap, kata hatinya hewan itu pasti dapat, begitu ditarik ternyata tidak didapatkannya, demikian saja kerjanya sang pemuda tersebut berusaha menangkap hewan Biul tersebut, sampai air telaga kotor karena [dikubek], bahkan biul juga menghilang.  Nafsu amarahnya tak tertahankan merasa dipermainkan oleh hewan kecil, “Sebetulnya saya cukup memiliki ilmu, apalagi mantra-mantra dan belum mengenal darah diri sendiri, artinya belum ada yang mengalahkannya”.  Nafsu amarah tak terelakkan lupa akan dirinya, jala yang rusak akhirnya dilemparkannya, ada yang dekat jatuhya, ada yang agak jauh jatuhnya, dia merasa lemas dan tidak berdaya sampai akhirnya ia tertidur.

Meragukan kesaktiannya Sang Guru ditantang Calon Muridnya

Setelah terbangun dari tidurnya tersinari oleh matahari, dan matanya melek, lalu ia melihat ke sekeliling, ternyata ada bangunan kecil tapi manis, merasa bahagia ingin bertanya tentang pemukiman itu, lalu ia menuju suatu rumah.   Setibanya di depan rumah [golodog] ia mengucapkan salam,  dan ternyata ada jawaban dari penghuni rumah kecil tersebut serta mempersilahkan kepada tamunya, sang pribumi begitu ramah bahkan ia menyuguhkan air dan makanan, dan terjalinla perbincangan diantara mereka. Setelah lama terjadinya perbincangan antara tamu dan pribumi, akhirnya tamu berterus terang ingin berguru, mencari ilmu terakhir, ingin tidak ada yang mengalahkan lagi oleh yang lain, tetapi jawaban pribumi, jangankan saya memiliki ilmu terakhir, jadi orang bodohpun tidak termasuk [teu bodo-bodo acan], karena lahir ke dunia ini sebetulnya karena Yang Maha Kuasa serta harus pandai kembali lagi, sendainya meninggal, menghadapNya.  Sepertinya jawaban pribumi kurang memuaskan tamu, maka dari itu tamu tetap menyatakan keinginannya untuk berguru, pribumipun tetap menolak karena ia merasa tidak mempunyai ilmu untuk diajarkan, tetepi karena tamu terus memaksa akhirnya pribumi mengalah dan akhirnya menerima, kalau tetap ingin berguru akan diberi ilmu seadanya, tamu merasa bahagia diterima menjadi murid, tetapi dalam hatinya muncul niat yang kurang baik, dalam pikirannya : “mengapa saya ingin berguru kepada orang yang belum tentu, bahkan saya ini sudah cukup berilmu, saya tidak akan mau menerima dulu ilmu dari dia, sebelum saya mencoba kesaktiannya”.  Akhirnya yang akan memberi ilmu yang sudah tua renta itu ditantang untuk berkelahi dengan orang yang masih muda dan kekar [buta tulang buta daging].   Dalam benak Petinggi, seandainya tidak dipenuhi betapa ia akan merusaknya, tapi kalau dituruti keadaanya ya begini.  Akhirnya Sang Petinggi memohon kepada Yang Maha Kuasa semoga diberi keselamatan.   Ringkas cerita ketika terjadi perkelahian antar pribumi dengan tamu pada akhirnya tamu terdesak, seterusnya ia menjadi murid di perguruan Tanjung Wangi.  Bahkan karena terlalu lama berguru akhirnya tamupun mendapat ilmu yang terakhir dari Sang Petinggi.  Untuk melaksanakan kehidupan di dunia, berlangsung dalam keadaan selamat dan berpulang ke Rahmatullah (meninggal dunia) ada dalam kebahagian di alam akherat, dapat berpulang dan kembali kepadaNya.  Setelah bertahun-tahun berguru, maka akhirnya sang pemuda itu berpamitan kepada gurunya akan pulang menemui dulu ayah dan ibunya di wilayah barat, dan berjanji akan kembali lagi, ingin hidup bersama dengan yang jadi gurunya.

Kisah Lebakwangi dan Batukarut
  
Setelah sampai kepada ibu dan bapaknya di wilayah barat, ia menyampaikan telah berhasil mendapatkan ilmu untuk keselamatan di alam dunia dan akhirat, semoga tidak kecewa, tersinggung perasaan yang menjadi orang tua, saya akan kembali lagi kepada yang menjadi guru dan akan menetap disana.  Setelah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, seorang pemuda itu kembali lagi ke tempat perguruannya Tanjung Wangi.   Karena berjiwa besar dan berilmu tinggi pemuda itu mendapat kepercayaan dari Petinggi untuk menangani alat musik pusaka, dan mendapat gelar “Embah Bandong”. 
Banyak hikmah yang didapat oleh pemuda tersebut ketika ia sedang berusaha mendapatkan mustika.   Bila ingin mendapatkan sesuatu hal yang baik tidak mudah, tetapi sering mendapat ujian dan cobaan, serta bergantung kepada mampu atau tidaknya,  mungkin nafsu yang menggoda dirinya, akibat nafsunya akhirnya jala dilemparkan.
Konon bekas jala yang dilemparnya waktu dulu, ada diantaranya yang jatuh di dekatnya, berantakan dan ada batu jala yang terikat oleh [areuy].  Dan di tempat itulah sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama “Batukarut”.
Lama kelamaan petinggi dan para nenek moyang meninggal dunia, namun sebelumnya mereka membuat wasiat, “setelah kami tiada (wafat) tempat atau pemukiman ini, yang di sebut Tanjung Wangi atau Tunjung Wangi namanya harus diganti”.  Kesatu “Lebakwangi” karena letaknya sedikit kebawah (ka lebak), kedua “Batukarut” yang tandanya ada batu yang dikarut oleh areuy.
 Makna Lebakwangi ini ibarat rohani, berada dibawah kalbu bukan diatas didalam akal, dan selamanya tiada pernah mendorong ke jalan salah, selamanya mendorong ke jalan yang baik seperti perintah Yang Maha Kuasa, sehingga mengakibatkan harum bagi dirinya,  sedangkan Batukarut tampak bedanya, bagaikan jasmani, dalam dirinya ada pendorong  ke jalan salah, yaitu nafsu, walau bagaimanapun kerasnya atau bandelnya nafsu jangan sampai terlontar, sebab kalau terlontar melalui mulut akan berakibat tidak enak didengarnya.  Kalau dalam perilaku maka perbuatannya yang salah, peribahasa mengatakan gejolak jiwa berakibat penyesalan jasad yang menanggung resiko.  Jadi walau bagaimanapun kerasnya amarah nafsu seperti batu, supaya bisa diikat jangan sampai terlontar dari diri kita. 
Setelah para nenek moyang wafat kemudian dikuburkan di “Gunung Alit” atau “Gunung Andaya Sakti”.  Terdapat 6 makam yang dikuburkan disana, yaitu :

1.     Makam Embah Lurah, terletak paling bawah
2.     Makam Embah Wira Dikusumah
3.     Makam Embah Patra Kusumah, berada ditengah-tengah
4.     Makam Embah Aji
5.     Makam Embah Kalanga Sumitra
6.     Makam Embah Manggung Jaya Dikusumah, yang terletak dipuncak gunung.

Menurut para orang tua bekas rumahnya sekarang disebut “Kabuyutan, disana didirikan rumah kecil yang dipakai menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, seperti :

1.     Sumbul, yang digantungkan
2.     Gobang, keris, pedang, badi, kujang

Perkakas tersebut masing-masing pakai [sarangka] serta dibungkus oleh kain putih, kafan tujuh rangkap, dan memakai kapas, memakai bunga rampai, setelah digulung diikat antara ujung dan ujung dan ditengah-tengah, tak beda seperti membungkus mayat.  Disimpannya didalam kamar rumah kecil tersebut, setiap tanggal 12 Maulud, suka diadakan upacara muludan, sekaligus melestarikan atau memelihara benda, baik yang di dalam rumah kecil atau alat musik pusaka Embah Bandong yang disimpan di rumah masyarakat yang dipercaya untuk menyimpan benda tersebut.  Didalam upacara dihadiri oleh warga masyarakat Batukarut, Lebakwangi dan sekitarnya, baik yang jauh maupun yang dekat yaitu handai taulan Lebakwangi, Batukarut, demikian pula dari Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten dan dari Provinsi juga dari Dinas Kebudayaan Tingkat Provinsi.


Ditulis kembali oleh : Dadang Dharsana
Sumber :
Hasil wawancara dengan H. Uko Rukanda (alm)
Pada tanggal 15 November 1997 oleh Drajat Sudrajat, SPd
Pada saat penyusunan skripsi S1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar